Senin (26/08) pagi, puluhan anak didampingi orang
tuanya tampak hilir mudik keluar masuk ruang belajar. Sebuah kotak dari kaleng
bekas biskuit tampak teronggok di atas kursi dekat pintu masuk PAUD Khadijah,
Tegalsari Kepanjen, Kabupaten Malang Jawa Timur,. Setiap sebelum dan usai
pembelajaran, kaleng ini diisi uang pecahan Rp 1.000 hingga Rp 2.000 oleh wali murid
yang kebetulan ikut menunggui anaknya belajar sambil bermain di PAUD ini.
Sesekali sang anak sendiri yang diajari untuk memasukkan uang sumbangan ke
kotak tersebut.
Pemandangan ini terjadi hampir setiap kali
pembelajaran di PAUD Khadijah yang dilaksanakan tiga kali sepekan, setiap
Senin, Rabu, dan Sabtu. Ya, berada di tengah masyarakat pedesaan,
menyelanggarakan pendidikan PAUD secara ideal masih sulit dilakukan. Jangankan
bisa menarik biaya SPP mahal, untuk mendapati kesadaran orang tua menitipkan
anaknya ke lembaga PAUD ini sulit terjadi.
PAUD Khadijah didirikan pada pada 2007 silam.
Tahun-tahun awal diselenggarakan PAUD ini, kisah perjuangan pengelola begitu
berat. Saking kurang diminatinya oleh warga, pernah PAUD ini hanya memiliki satu
siswa.
“Awal merintis, pendidik harus mendatangi
tempat-tempat posyandu dengan membawa alat permainan seadanya. Kami keliling
sepekan sekali untuk memberi layanan PAUD dan menarik masyarakat,” kenang Isti
Chorida (42), tutor PAUD Khadijah, yang sejak awal turut membidani berdirinya
PAUD ini.
Selama lima tahun, sejak awal diselenggarakan hingga
tahun 2012 lalu, PAUD ini hanya
bermodalkan sumbangan kas Rp 1.000 per siswa setiap kali masuk. Uang sumbangan
wali murid yang tidak ajeg didapatkan jumlahnya dipakai untuk membiaya seluruh
kebutuhan operasional PAUD, termasuk membayar tiga orang pendidiknya.
Selama kurun waktu itu, jumlah anak didik PAUD
Khadijah mengalami pasang surut, terbanyak tidak lebih dari 20 anak. Namun,
alih-alih memberikan layanan pendidikan lebih baik dengan menerapkan iuran SPP
wajib sejumlah Rp 2.000, yang terjadi justru memprihatinkan. Karena enggan
membayar iuran wajib ini, jumlah anak didik sempat berkurang hingga tidak lebih
dari enam anak.
“Kami sempat mau buyar pada 2008, karena tidak ada
kas keuangan sama sekali. Kesadaran masyarakat juga rendah untuk menitipkan
anaknya. Namun, niatan untuk memberi pendidikan anak lebih besar, sehingga
bertahan hingga sekarang,” ungkap pendidik yang hanya lulusan SMEA ini.
Ya, keteguhan pengabdian Isti Chorida memang bukan
isapan jempol. Selama empat tahun sejak awal mendidik, ia dan dua temannya
hanya mendapatkan honor sebesar Rp 50.000 per bulan. Honor ini lah yang secara
pasti diperolehnya tiap bulan dari jerih payahnya mendidik anak di PAUD bentukan
PKK Desa Tegalsari, Kepanjen ini. kalau pun ada bantuan insentif dari
pemerintah, ia sulit mendapatkannya karena harus bersaing dengan ribuan
pendidik PAUD lainnya.
Lain halnya dengan beberapa teman sejawatnya. Sempat
berulang kali sejumlah tiga pendidik tidak betah dan mengundurkan karena merasa
tidak dapat penghasilan yang layak. Beruntung, selama dua tahun terakhir, Isti Chorida
memang mendapatkan honor dari sumber lain, yang diterimanya setahun sekali. Ia
pernah mendapatkan tambahan transpor dari bantuan Alokasi Dana Desa (ADD)
sebesar Rp 500 ribu, namun tetap harus dibaginya menjadi tiga untuk pendidik
lain.
Dalam kondisi dukungan keuangan sangat terbatas,
banyak yang terpaksa tidak bisa dipenuhi PAUD Khadijah. Diantaranya, pengelola
memilih tidak aktif dalam berbagai kegiatan Himppaudi selama dua tahun lebih
karena tidak mampu membayar iuran. Dengan jumlah anak didik sangat sedikit dan
hanya mengandalkan sumbangan wali murid, berat bagi pengelola PAUD ini untuk
membayar iuran yang harus dibayarkan sejumlah anak didik dan pendidiknya kepada
Himppaudi.
Ketersediaan alat permainan edukatif (APE) menjadi
keterbatasan lain yang dimiliki PAUD Khadijah. Jumlah mainan sangat terbatas.
Sebagian APE terpaksa dibuat sendiri oleh pengelola, seperti mainan balok. Alat
jungkat-jungkit dari potongan ban bekas kendaraan besar juga tampak teronggok
seadanya dan digunakan anak bermain.
“Kami buat sendiri balok kayu karena tidak mampu
beli. Tetapi, ukuran dan bentuknya kurang standar seperti pada umumnya,” terang
ibu dengan empat anak ini. Ruang belajar anak juga tidak kalah memprihatinkan.
Selama lima tahun terakhir, pembelajaran menempati ruangan aula dengan lantai
masih ubin kantor desa setempat yang umur bangunannya sudah tua. Beberapa tahun
awal, anak belajar sambil bermain hanya beralaskan karpet tanpa meja belajar
yang memadai.
Dua bulan terakhir, PAUD Khadijah harus diungsikan
sementara ke ruang perpustakaan desa karena kondisi atap ruang semula banyak
yang rapuh kayu penahannya. Ruangan perpustakaan berukuran 3 x 5 meter persegi
ini harus disekat menjadi dua hanya dengan rak mainan. Bangunan lama khawatir mau ambruk. Atap banyak yang
keropos. Kesalamatan anak didik kami khawatirkan,” tambah Bunda Rida.
Karena keterbatasan ruang ini, APE luar terpaksa
harus disimpan di dalam ruang lama karena tidak tidak ada tempatnya. Halaman
PAUD ini langsung berbatasan dengan akses jalan menuju sebuah sekolah dasar.
Setahun terakhir, kesejahteraan pendidik PAUD
Khadijah lebih meningkat dengan mendapatkan honor Rp 100 ribu tiap bulan. Ini
setelah kas masuk bisa dinaikkan menjadi Rp 2.000 per siswa tiap kali datang. Sekali
sepekan, dari uang kas yang masuk juga bisa dibelikan untuk menambah mainan
anak didik, termasuk untuk jajanan.
“Paguyuban walimurid sudah bisa
diberdayakan dengan iuran tambahan. Sekarang masyarakat mulai menyadari
pentingnya PAUD sebagai dasar pendidikan selanjutnya,” demikian Isti Chorida.(Majalah Warta Aksara/Edisi 1)
0 komentar :