Apresiasi

Wednesday, 14 January 2015

Mengandalkan Sumbangan Pecahan Dua Ribu Perak, PAUD Khadijah Layani Pendidikan Anak Desa

Unknown     20:55:00    

Senin (26/08) pagi, puluhan anak didampingi orang tuanya tampak hilir mudik keluar masuk ruang belajar. Sebuah kotak dari kaleng bekas biskuit tampak teronggok di atas kursi dekat pintu masuk PAUD Khadijah, Tegalsari Kepanjen, Kabupaten Malang Jawa Timur,. Setiap sebelum dan usai pembelajaran, kaleng ini diisi uang pecahan Rp 1.000 hingga Rp 2.000 oleh wali murid yang kebetulan ikut menunggui anaknya belajar sambil bermain di PAUD ini. Sesekali sang anak sendiri yang diajari untuk memasukkan uang sumbangan ke kotak tersebut.
 
Pemandangan ini terjadi hampir setiap kali pembelajaran di PAUD Khadijah yang dilaksanakan tiga kali sepekan, setiap Senin, Rabu, dan Sabtu. Ya, berada di tengah masyarakat pedesaan, menyelanggarakan pendidikan PAUD secara ideal masih sulit dilakukan. Jangankan bisa menarik biaya SPP mahal, untuk mendapati kesadaran orang tua menitipkan anaknya ke lembaga PAUD ini sulit terjadi.

PAUD Khadijah didirikan pada pada 2007 silam. Tahun-tahun awal diselenggarakan PAUD ini, kisah perjuangan pengelola begitu berat. Saking kurang diminatinya oleh warga, pernah PAUD ini hanya memiliki satu siswa.
“Awal merintis, pendidik harus mendatangi tempat-tempat posyandu dengan membawa alat permainan seadanya. Kami keliling sepekan sekali untuk memberi layanan PAUD dan menarik masyarakat,” kenang Isti Chorida (42), tutor PAUD Khadijah, yang sejak awal turut membidani berdirinya PAUD ini.

Selama lima tahun, sejak awal diselenggarakan hingga tahun 2012 lalu, PAUD  ini hanya bermodalkan sumbangan kas Rp 1.000 per siswa setiap kali masuk. Uang sumbangan wali murid yang tidak ajeg didapatkan jumlahnya dipakai untuk membiaya seluruh kebutuhan operasional PAUD, termasuk membayar tiga orang pendidiknya.

Selama kurun waktu itu, jumlah anak didik PAUD Khadijah mengalami pasang surut, terbanyak tidak lebih dari 20 anak. Namun, alih-alih memberikan layanan pendidikan lebih baik dengan menerapkan iuran SPP wajib sejumlah Rp 2.000, yang terjadi justru memprihatinkan. Karena enggan membayar iuran wajib ini, jumlah anak didik sempat berkurang hingga tidak lebih dari enam anak.
“Kami sempat mau buyar pada 2008, karena tidak ada kas keuangan sama sekali. Kesadaran masyarakat juga rendah untuk menitipkan anaknya. Namun, niatan untuk memberi pendidikan anak lebih besar, sehingga bertahan hingga sekarang,” ungkap pendidik yang hanya lulusan SMEA ini.

Ya, keteguhan pengabdian Isti Chorida memang bukan isapan jempol. Selama empat tahun sejak awal mendidik, ia dan dua temannya hanya mendapatkan honor sebesar Rp 50.000 per bulan. Honor ini lah yang secara pasti diperolehnya tiap bulan dari jerih payahnya mendidik anak di PAUD bentukan PKK Desa Tegalsari, Kepanjen ini. kalau pun ada bantuan insentif dari pemerintah, ia sulit mendapatkannya karena harus bersaing dengan ribuan pendidik PAUD lainnya.

Lain halnya dengan beberapa teman sejawatnya. Sempat berulang kali sejumlah tiga pendidik tidak betah dan mengundurkan karena merasa tidak dapat penghasilan yang layak. Beruntung, selama dua tahun terakhir, Isti Chorida memang mendapatkan honor dari sumber lain, yang diterimanya setahun sekali. Ia pernah mendapatkan tambahan transpor dari bantuan Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp 500 ribu, namun tetap harus dibaginya menjadi tiga untuk pendidik lain.

Dalam kondisi dukungan keuangan sangat terbatas, banyak yang terpaksa tidak bisa dipenuhi PAUD Khadijah. Diantaranya, pengelola memilih tidak aktif dalam berbagai kegiatan Himppaudi selama dua tahun lebih karena tidak mampu membayar iuran. Dengan jumlah anak didik sangat sedikit dan hanya mengandalkan sumbangan wali murid, berat bagi pengelola PAUD ini untuk membayar iuran yang harus dibayarkan sejumlah anak didik dan pendidiknya kepada Himppaudi.

Ketersediaan alat permainan edukatif (APE) menjadi keterbatasan lain yang dimiliki PAUD Khadijah. Jumlah mainan sangat terbatas. Sebagian APE terpaksa dibuat sendiri oleh pengelola, seperti mainan balok. Alat jungkat-jungkit dari potongan ban bekas kendaraan besar juga tampak teronggok seadanya dan digunakan anak bermain.

“Kami buat sendiri balok kayu karena tidak mampu beli. Tetapi, ukuran dan bentuknya kurang standar seperti pada umumnya,” terang ibu dengan empat anak ini. Ruang belajar anak juga tidak kalah memprihatinkan. Selama lima tahun terakhir, pembelajaran menempati ruangan aula dengan lantai masih ubin kantor desa setempat yang umur bangunannya sudah tua. Beberapa tahun awal, anak belajar sambil bermain hanya beralaskan karpet tanpa meja belajar yang memadai.

Dua bulan terakhir, PAUD Khadijah harus diungsikan sementara ke ruang perpustakaan desa karena kondisi atap ruang semula banyak yang rapuh kayu penahannya. Ruangan perpustakaan berukuran 3 x 5 meter persegi ini harus disekat menjadi dua hanya dengan rak mainan. Bangunan lama khawatir mau ambruk. Atap banyak yang keropos. Kesalamatan anak didik kami khawatirkan,” tambah Bunda Rida.

Karena keterbatasan ruang ini, APE luar terpaksa harus disimpan di dalam ruang lama karena tidak tidak ada tempatnya. Halaman PAUD ini langsung berbatasan dengan akses jalan menuju sebuah sekolah dasar.
Setahun terakhir, kesejahteraan pendidik PAUD Khadijah lebih meningkat dengan mendapatkan honor Rp 100 ribu tiap bulan. Ini setelah kas masuk bisa dinaikkan menjadi Rp 2.000 per siswa tiap kali datang. Sekali sepekan, dari uang kas yang masuk juga bisa dibelikan untuk menambah mainan anak didik, termasuk untuk jajanan.

“Paguyuban walimurid sudah bisa diberdayakan dengan iuran tambahan. Sekarang masyarakat mulai menyadari pentingnya PAUD sebagai dasar pendidikan selanjutnya,” demikian Isti Chorida.(Majalah Warta Aksara/Edisi 1)

0 komentar :

© 2011-2014 Majalah Cendekia. Designed by Bloggertheme9.