Apresiasi

Thursday, 18 June 2015

Pelibatan Publik Sebatas Sosialisasi, Keterbukaan Publik masih Lemah

Unknown     08:29:00    

Pelibatan Publik Sebatas Sosialisasi, Keterbukaan Publik masih Lemah
Dana perimbangan dalam bentuk bagi hasil atau transfer daerah menjadi salah satu konsekuensi kebijakan pemerintah Indonesia menempatkan daerah sebagai objek pembangunan seperti yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, implementasi pengelolaan anggaran pusat yang dialokasikan ke daerah ini dianggap sejumlah kalangan masih lemah terutama pengawasannya.

Lemahnya perencanaan, pemprograman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban mengakibatkan munculnya indikasi korupsi, pemborosan, salah alokasi menjadi permasalahan yang kompleks dalam pembangunan di daerah. Setidaknya, ini diakui oleh Yenny Sucipto, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) dalam sebuah kesempatan belum lama ini. menurutnya, mekanisme evaluasi baru pada level penyerapan anggaran, belum pada format monitoring dan evaluasi kinerja. Dana pusat yang digelontorkan ke daerah melalui DAK maupun Dana Penyesuaian teralokasi secara besar-besaran di infrastruktur, yang menurut beberapa penelitian yang dilakukan pihaknya, pos ini paling rawan dikorupsi.

Pelibatan publik dalam kebijakan anggaran, tambah Yenny Sucipto, sejauh ini hanya formalitas, karena proses partisipasi dalam perencanaan yang dilakukan bukanlah proses negosiasi, namun hanya sosialisasi dan penyampaian informasi publik. Masyarakat belum dilibatkan dalam perencanaan secara utuh dari awal, dan hanya diberi sosialisasi hasil dari perencanaan yang sudah terbentuk.

Sampai saat ini format laporan monitoring dan evaluasi sebagai bentuk pertanggungjawaban belum terbentuk. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, laporan pertanggungjawaban meanjadi kewenangan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, kemampuan SDM dari BPK saat ini dianggap belum sepenuhnya mampu meng-cover program dan kewenangan tersebut. Alternatif solusinya, mengoptimalkan Inspektorat Daerah, dengan catatan pengawasan yang dilakukan tidak sekedar cashflow atau penyerapan anggaran saja, namun juga terhadap kinerja.

Tak hanya rendah pelibatan publik, keterbukaan informasi terkait anggaran juga masih lemah diketahui publik, meski sudah hampir lima tahun diberlakukan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Padahal pelibatan masyarakat melalui keterbukaan informasi publik akan mendorong pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dan badan publik ke arah lebih baik. Banyak contoh kasus korupsi besar di tanah air bermula dari tidak adanya keterbukaan pemerintah dan rendahnya kontrol dari masyarakat.

Tidak maksimalnya penerapan UU KIP ini seperti pernah disampaikan sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti KontraS, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Parliamentary Center (IPC), dan Indonesia Budget Center (IBC). Dalam catatan mereka, hasil pemantauan terhadap kepatuhan penyediaan informasi berkala memperlihatkan sebagian besar Kementerian/Lembaga belum melakukan penyesuaian isi situs mereka berdasarkan jenis-jenis informasi berkala seperti yang diatur dalam UU KIP dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik.

Mengacu kepada UU KIP, untuk menerapkan pemerintahan yang terbuka dan transparan, ada lima kewajiban yang perlu dilaksanakan badan publik; menunjuk PPID, menyusun daftar informasi publik dan melakukan uji konsekuensi atas informasi yang dikecualikan, membuat standar operasional prosedur pelayanan informasi dan mengalokasikan anggaran pelayanan informasi publik. Untuk memenuhi ini perlu adanya kemauan politik para pimpinan untuk bersifat terbuka, responsif dan akuntabel. (*)

0 komentar :

© 2011-2014 Majalah Cendekia. Designed by Bloggertheme9.